in ,

Pola Makan Ini Bisa Cegah Alami Gejala Parah COVID-19

Ada bukti baru tentang pendekatan atau pola makan yang dapat berperan dalam menekan risiko infeksi parah saat terinfeksi SARS-CoV-2.

CakapCakapCakap People! Di tengah peningkatan kasus COVID-19 akibat subvarian Omicron BA.4 dan BA.5, ada bukti baru tentang pendekatan atau pola makan yang dapat berperan dalam menekan risiko infeksi parah saat terinfeksi SARS-CoV-2. Temuan dari studi Intermountain Healthcare itu diterbitkan dalam British Medical Journal of Nutrition, Prevention and Health.

Studi tersebut menyoroti manfaat puasa intermiten bagi orang yang positif COVID-19. Benjamin Horne, Direktur Epidemiologi Kardiovaskular dan Genetik di Intermountain Healthcare, mengatakan bahwa orang perlu mengingat untuk menghindari gejala parah dari wabah ini.

Sebelumnya telah diketahui bahwa puasa intermiten membantu menurunkan peradangan dan melindungi kesehatan jantung. Horne mengatakan, dalam penelitian ini, peneliti menemukan manfaat tambahan dalam memerangi infeksi SARS-CoV-2 pada pasien yang telah berpuasa intermiten selama beberapa dekade.

Pola Makan Ini Bisa Cegah Alami Gejala Parah COVID-19
Ilustrasi [Foto via Pixabay]

Para peneliti mengamati lebih dari 200 pasien yang dites positif COVID-19 sebelum vaksin tersedia secara luas. Dari 205 kasus yang dikonfirmasi, 73 pasien yang mengaku berpuasa secara teratur memiliki tingkat rawat inap atau kematian lebih rendah akibat infeksi SARS-CoV-2.

“Puasa intermiten tidak terkait dengan apakah seseorang dites positif Covid-19 atau tidak, tetapi dikaitkan dengan tingkat keparahan lebih rendah setelah orang dites positif,” kata Horne, seperti dilansir dari Express.co.uk, Jumat, 8 Juli 2022.

Ada beberapa mekanisme potensial yang memberikan perlindungan dalam puasa intermiten. Salah satu manfaat potensial adalah mempromosikan autophagy, di mana sistem membantu tubuh menghancurkan dan mendaur ulang kerusakan pada sel yang terinfeksi.

Puasa intermiten juga mengurangi pelepasan sel pro inflamasi yang dikenal sebagai monosit, yang beredar dalam darah. Studi menunjukkan bahwa selama periode puasa, sel-sel ini masuk ke mode tidur, dan menjadi kurang meradang.

Mengurangi respons peradangan ini penting untuk menghindari hasil yang buruk setelah infeksi. MedicalXpress mengungkapkan, setelah 12 hingga 14 jam puasa, tubuh beralih dari penggunaan glukosa dalam darah menjadi keton, termasuk asam linoleat.

Horne mengatakan, itu penting karena linoleat dan COVID-19 berinteraksi. Ahli menjelaskan ada kantong di permukaan SARS-CoV-2 yang cocok dengan asam linoleat yang dapat membuat virus kurang mampu menempel pada sel lain.

Ilustrasi [Foto via Pixabay]

Tim peneliti mencatat bahwa meskipun temuan ini menunjukan puasa intermiten sangat bermanfaat, tetapi tidak boleh dianggap sebagai cara untuk mengganti vaksin. Terlebih lagi, pasien yang termasuk dalam penelitian ini telah mengikuti pola makan selama bertahun-tahun, bukan berminggu-minggu.

Bahkan, sebagian besar peserta mengatakan bahwa mereka telah mempertahankan kebiasaan makan itu selama kurang lebih 40 tahun. Siapa pun yang mempertimbangkan untuk mengubah kebiasaan diet mereka harus berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu.

Dokter Horne menambahkan pola itu juga harus dievaluasi lebih lanjut untuk potensi penggunaan pencegahan atau terapeutik jangka pendek dan jangka panjang sebagai pendekatan pelengkap untuk vaksin dan terapi anti-virus untuk mengurangi keparahan COVID-19.

SUMBER ARTIKEL

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Loading…

0

Comments

0 comments

Cara Menentukan Daging Sapi Sehat Menurut Ahli Gizi

Cara Menentukan Daging Sapi Sehat Menurut Ahli Gizi

Tren Olahraga tanpa Sepatu, Baik atau Buruk?

Tren Olahraga tanpa Sepatu, Baik atau Buruk?