in

Peneliti China: Virus Corona ‘Sangat Sensitif’ Terhadap Suhu Tinggi, tapi Jangan Berharap Perubahan Cuaca Bisa Memusnahkannya

Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga mendesak orang-orang untuk tidak menganggap epidemi akan mereda secara otomatis di musim panas.

CakapCakapCakap People! Sebuah studi baru mengungkapkan bahwa virus corona baru yang menyebabkan penyakit COVID-19 mungkin memiliki suhu sweet spot yang menyebar paling cepat, tetapi para ahli mengatakan bahwa orang harus menghindari untuk tidak berpikir bahwa virus itu akan bereaksi terhadap perubahan musiman dengan cara yang persis sama seperti patogen lain, seperti yang menyebabkan flu biasa atau influenza.

Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou, China mengungkapkan bahwa virus Corona baru, COVID-19 sangat sensitif terhadap suhu tinggi. Namun, penelitian itu juga mengungkap bahwa perubahan iklim, dari dingin, ke semi lalu ke panas, mungkin tidak akan menghilangkan virus.

Wisatawan di stasiun kereta di Yichang, China, sekitar 200 mil dari Wuhan. Tahun Baru Imlek, yang dimulai pada hari Sabtu, 25 Januari 2020menandai musim perjalanan tersibuk di kawasan ini | Foto: CHINATOPIX via Associated Press.

Dalam kasus penyebaran virus sebelumnya, seperti SARS atau MERS, perubahan iklim perlahan-lahan akan mulai melemahkan dan lalu menghilangkann virus tersebut. Namun, para peniliti menyebut, patogen COVID-19 sedikit unik, jadi perubahan suhu mungkin tidak memiliki dampak terlalu besar terhadap virus tersebut.

Penelitian yang diterbitkan bulan Februari 2020 lalu, meskipun belum ditinjau oleh peneliti lainnya, laporan tersebut menyarankan bahwa panas memiliki peran yang signifikan untuk dimainkan dalam bagaimana virus berperilaku.

“Suhu dapat secara signifikan mengubah transmisi COVID-19 dan mungkin ada suhu terbaik untuk penularan virus. Virus ini sangat sensitif terhadap suhu tinggi, yang dapat mencegahnya menyebar di negara-negara yang lebih hangat, tetapi sebaliknya dapat menyebar dengan mudah di iklim yang lebih dingin,” bunyi hasil penelitian tersebut, seperti dilaporkan oleh South China Morning Post, Minggu, 8 Maret 2020.

Sebagai hasilnya, para peneliti menyarankan agar negara dan wilayah dengan suhu yang lebih rendah mengadopsi langkah-langkah kontrol yang paling ketat.

Tim Guangzhou mendasarkan penelitian mereka pada setiap kasus baru coronavirus yang dikonfirmasi di seluruh dunia antara 20 Januari dan 4 Februari, termasuk di lebih dari 400 kota dan wilayah China.

Ini kemudian dimodelkan terhadap data meteorologi resmi untuk Januari dari seluruh China dan ibu kota masing-masing negara yang terkena dampak. 

Analisis menunjukkan bahwa jumlah kasus naik sejalan dengan suhu rata-rata hingga puncak kenaikan suhu yang mencapai delapan derajat. Tapi, setelah itu tren infeksi perlahan-lahan menurun.

“Suhu memiliki dampak pada lingkungan kehidupan orang dan dapat memainkan peran penting dalam kesehatan masyarakat dalam hal pengembangan dan pengendalian epidemi,” kata penelitian itu. 

Dikatakan juga bahwa iklim mungkin berperan dalam mengapa virus itu menyebar di Wuhan, kota pertama kali virus itu terdeteksi.

Sebuah studi terpisah oleh sekelompok peneliti, termasuk ahli epidemiologi Marc Lipsitch dari Harvard T.H. Chan School of Public Health, menemukan bahwa penularan berkelanjutan dari virus Corona dan pertumbuhan infeksi yang cepat dimungkinkan dalam berbagai kondisi kelembaban, dari provinsi dingin dan kering di China ke lokasi tropis, seperti daerah otonom Guangxi Zhuang di selatan China dan Singapura.

“Cuaca saja, (seperti) peningkatan suhu dan kelembaban saat bulan-bulan musim semi dan musim panas tiba di belahan bumi utara, tidak akan serta merta menyebabkan penurunan dalam jumlah kasus tanpa penerapan intervensi kesehatan masyarakat yang luas,” kata studi tersebut, yang diterbitkan pada bulan Februari 2020 dan juga sedang menunggu tinjauan ilmiah.

Ratusan juta orang Tiongkok menuju ke kota asal mereka untuk Tahun Baru Imlek 2020 | Foto: AFP / Hector Retamal

Pakar lain, seperti Hassan Zaraket, asisten direktur di Center for Infectious Diseases Research di American University of Beirut, mengatakan ada kemungkinan bahwa cuaca yang lebih hangat dan lebih lembab akan membuat virus Corona lebih stabil dan dengan demikian kurang menular, seperti halnya dengan patogen virus lainnya.

“Kami masih belajar tentang virus ini, tetapi berdasarkan apa yang kami ketahui tentang virus corona lain, kami bisa berharap. Ketika suhu memanas, stabilitas virus dapat menurun, jika cuaca membantu kita mengurangi transmisi dan stabilitas lingkungan dari virus, maka mungkin kita dapat memutus rantai penularan,” ungkapnya.

Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kedaruratan Kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), juga mendesak orang-orang untuk tidak menganggap epidemi akan mereda secara otomatis di musim panas.

“Kami harus mengasumsikan virus akan terus memiliki kapasitas untuk menyebar. Ini harapan palsu untuk mengatakan, ya, itu akan hilang seperti flu, kita tidak bisa membuat asumsi itu dan tidak ada bukti untuk memperkuat asusmsi itu,” katanya.

Pemerintah Resmi Geser Cuti Bersama Idul Fitri 2020, Ini Perubahan Waktunya

Microsoft Prediksi Virus Corona Akan Ubah Cara Manusia Bekerja dan Belajar