in ,

#KuToo: Ribuan Perempuan Jepang Tolak Sepatu Hak Tinggi di Tempat Kerja

CakapCakap – Ribuan perempuan Jepang bergabung dalam gerakan #KuToo, kampanye media sosial untuk menolak ketentuan bahwa perempuan harus mengenakan hak tinggi di tempat kerja.

Melansir VOA News, Kamis 6 Juni 2019, hampir 20 ribu perempuan Jepang sudah menandatangani petisi online yang viral itu, menuntut pemerintah untuk melarang perusahaan-perusahaan mewajibkan pekerja perempuan untuk mengenakan hak tinggi. Ketentuan itu adalah contoh diskriminasi gender, kata Yumi Ishikawa, yang memulai kampanye itu.

Para karyawan perempuan mengenakan sepatu berhak di kawasan bisnis di Tokyo, Jepang, 4 Juni 2019. (Foto: Kim Kyung-Hoon/Reuters)

Kampanye #KuToo sendiri diambil dari kata Jepang untuk sepatu atau “kutsu” dan “kutsuu” yang artinya sakit.

Artis dan penulis lepas berusia 32 tahun itu berharap petisi yang diserahkan ke Menteri Kesehatan Jepang pada Senin 3 Juni 2019 akan membawa perubahan di tempat kerja dan kesadaran mengenai diskriminasi gender.

Ishikawa meluncurkan kampanye itu setelah mencuit tentang keharusan mengenakan sepatu berhak tinggi untuk pekerjaan paruh waktu di rumah duka. Tak disangka, cuitan Ishikawa mendapat respons luar biasa dari para wanita.

“Setelah bekerja, para pekerja perempuan berganti dengan sepatu olahraga atau sepatu tanpa hak,” kata dia dalam petisi tersebut. Ishikawa menambahkan, sepatu berhak tinggi sering kali mengakibatkan bunion atau benjolan pada jempol kaki, lecet-lecet dan sakit di punggung bagian belakang.

“Jadi susah bergerak. Kamu tidak bisa lari dan kaki kamu sakit. Semua hanya demi sopan santun” tulis Ishikawa sambil menyoroti bahwa laki-laki tidak menghadapi tuntutan yang sama mengenai sepatu tersebut.

Para karyawan perempuan mengenakan sepatu berhak di kawasan bisnis di Tokyo, Jepang, 4 Juni 2019. (Foto: Kim Kyung-Hoon/Reuters)

Meski banyak perusahaan di Jepang tidak secara terang-terangan mewajibkan karyawan perempuan untuk mengenakan sepatu hak tinggi, tapi banyak perempuan yang mengenakannya karena tradisi dan tuntutan sosial.

Menurut Ishikawa, kampanyenya lebih banyak mendapat perhatian dari media internasional ketimbang media lokal. Selain itu, ada kecenderungan di Jepang untuk menggambarkan masalah itu sebagai isu kesehatan dan bukan isu gender.

“Jepang itu bebal tentang diskriminasi gender,” kata Ishikawa kepada Reuters. “Jepang jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain untuk isu ini,” katanya.

Jepang menempati peringkat 110 dari 149 negara dalam peringkat kesetaraan gender Forum Ekonomi Dunia.

Foto via The Guardian

“Kami ingin masyarakat menyadari bahwa diskriminasi gender bisa muncul dalam banyak cara kecil,” kata Ishikawa. Mulai dari cara para pemimpin perusahaan memperlakukan karyawan perempuannya hingga tuntutan bahwa perempuan harus mengerjakan semua pekerjaan rumah dan urusan membesarkan anak meski mereka juga bekerja.

Kementerian Kesehatan Jepang mengatakan sedang mempelajari petisi tersebut dan menolak untuk berkomentar lebih jauh.

Di Inggris, Nicola Thorp meluncurkan permohonan serupa pada tahun 2016 setelah ia dipulangkan dari kantor karena menolak mengenakan sepatu hak tinggi.

Investigasi parlemen menemukan ada diskriminasi di tempat kerja Inggris, tetapi pemerintah menolak undang-undang yang melarang perusahaan mewajibkan perempuan mengenakan sepatu hak tinggi.

VOA NEWS

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Loading…

0

Comments

0 comments

Mengenal Stealthy Blackhawk, Konon Jadi Helikopter Siluman Paling Rahasia di Dunia

Cuti Bersama Lebaran 2019, Ternyata Libur Panjang Bermanfaat Bagi Kesehatan!