CakapCakap – Cakap People! Soeharto resmi mendapat gelar pahlawan nasional hari ini. Seperti diketahui, bertepatan dengan Hari Pahlawan Nasional yang diperingati setiap 10 November, Presiden RI Prabowo Subianto mengumumkan 10 tokoh yang akan mendapat gelar pahlawan nasional di Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, hari ini, Senin, 10 November 2025.
Nama Presiden RI ke-2 Soeharto termasuk di dalam daftar nama 10 pahlawan nasional tersebut. Prabowo menyerahkan langsung secara simbolis gelar pahlawan nasional ini ke putra ke-3 Soeharto, Bambang Trihatmodjo.

Namun, pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto telah lama menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan. Sejumlah pihak menentang keras usulan ini. Alasannya, ada banyak peristiwa dan kebijakan di era kepemimpinan Soeharto yang dinilai menimbulkan sejarah kelam di Indonesia.
Alasan Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
Daftar 10 pahlawan nasional tahun ini muncul dari total 49 nama yang diusulkan. Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) Fadli Zon menyebut 40 nama merupakan usulan baru, sedangkan 9 lainnya merupakan carry over dari tahun sebelumnya.
Mensesneg Prasetyo Hadi menjelaskan alasan pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto. Menurutnya, gelar ini merupkan bagian dari menghormati para pemimpin terdahulu bangsa. Ia menegaskan Soeharto memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara di masa kepemimpinannya.
“Itukan bagian dari bagaimana kita menghormati para pendahulu. Terutama para pemimpin kita yang apapun sudah pasti memiliki jasa yang luar biasa terhadap bangsa dan negara,” ujarnya, dilansir dari CNN Indonesia.
Lebih lanjut, Prasetyo menuturkan bahwa Presiden Prabowo telah menerima masukan dari pelbagai pihak termasuk pimpinan MPR dan DPR.
Mengapa Pemberian Gelar Pahlawan Nasional terhadap Soeharto Kritik dan Penolakan?

Kritik hingga tentangan muncul atas pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Soeharto. Salah satunya berasal dari Gerakan Masyarakat Sipil Adili Soeharto (GEMAS) yang terdiri dari korban pelanggaran berat HAM, individu, serta berbagai organisasi masyarakat sipil. Baru-baru ini, GEMAS secara resmi telah mengirimkan surat desakan terbuka kepada Dewan GTK di Kementerian Sekretariat Negara untuk menolak pengusulan tersebut.
Dikutip dari situs KontraS, GEMAS menilai bahwa pengusulan Soeharto bertentangan dengan amanah reformasi, prinsip hak asasi manusia, serta nilai-nilai keadilan dan moralitas publik, mengingat rekam jejaknya dalam berbagai pelanggaran berat HAM, praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang sistemik, serta gaya kepemimpinan otoriter selama 32 tahun berkuasa.
Sebelumnya, GEMAS telah secara aktif menyampaikan penolakan disertai argumentasi berbasis data dan fakta sejarah melalui buku “Tolak Gelar Pahlawan Soeharto” setebal lebih dari 2.000 halaman, serta petisi yang kini telah ditandatangani oleh lebih dari 11.500 orang yang menolak pemberian gelar tersebut.
Lebih lanjut, GEMAS juga mengingatkan bahwa tanggung jawab hukum dan moral atas berbagai pelanggaran di masa pemerintahan Soeharto telah ditegaskan melalui sejumlah instrumen hukum, antara lain TAP MPR XI/MPR/1998 dan TAP MPR IV/MPR/1999, yang menyebut Soeharto sebagai pihak yang harus dimintai pertanggungjawaban atas praktik KKN.
“Serta putusan Mahkamah Agung No. 140 PK/Pdt/2015 tertanggal 8 Juli 2015 yang menyatakan Yayasan Supersemar milik Soeharto telah melakukan perbuatan melawan hukum. Bahkan, laporan PBB dan Bank Dunia (Stolen Asset Recovery/StAR, 2007) menempatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan kerugian negara diperkirakan mencapai 15–35 miliar dolar AS,” tutur GEMAS.
GEMAS juga menyorot bahwa pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional layaknya menutup mata terhadap luka sejarah dan trauma kolektif yang belum pulih, khususnya bagi perempuan korban kekerasan negara.
“Di bawah kekuasaannya, terjadi berbagai pelanggaran HAM berat yang menempatkan perempuan sebagai sasaran utama kekerasan, seperti dalam Peristiwa 1965–1966, pembunuhan Marsinah, Mei 1998, serta kekerasan seksual di wilayah Aceh, Timor Leste, dan Papua. Penindasan terhadap gerakan perempuan, pelecehan sistematis oleh aparat, serta pembungkaman suara-suara perempuan pembela hak asasi menunjukkan bahwa kekuasaan Orde Baru dibangun di atas represi dan penundukan terhadap perempuan,” tuturnya.
Berdasarkan rekam jejak, bukti sejarah, hukum, dan moral tersebut, GEMAS berpendapat bahwa Soeharto tidak memenuhi kriteria sebagai Pahlawan Nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, khususnya terkait integritas moral dan keteladanan.

