CakapCakap – Cakap People! Terdapat sejumlah dampak buruk bagi kesehatan dari mengonsumsi beras oplosan, yaitu mulai dari ginjal rusak hingga organ hati. Maraknya dugaan peredaran beras oplosan jenis premium di sejumlah pasar tradisional menjadi perhatian serius pemerintah daerah.
Untuk memastikan keamanan pangan bagi masyarakat, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Kota Bogor melakukan inspeksi mendadak ke Pasar Sukasari, Kota Bogor, Jawa Barat.
Sidak tersebut dipimpin langsung oleh Wali Kota Bogor, Dedie A. Rachim, didampingi Wakapolresta Bogor Kota serta perwakilan dari Dinas Ketahanan Pangan Kota Bogor. Pemeriksaan dilakukan untuk mengantisipasi praktik curang berupa pencampuran beras medium dengan beras premium lalu dijual dengan harga tinggi.
Bahaya Tersembunyi di Balik Beras Oplosan

Melansir dari wawancara bersama Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof. Dr. Ir. Sri Raharjo, M.Sc, praktik beras oplosan sering kali melibatkan pencampuran beras dengan bahan non-pangan, seperti pemutih, pewarna sintetis, hingga zat plastik. Meski istilah “beras oplosan” tidak secara eksplisit disebut dalam undang-undang, praktik ini tetap melanggar ketentuan keamanan dan mutu pangan yang diatur dalam Undang-Undang Pangan.
“Pemakaian klorin sebagai pemutih memang dapat membuat beras terlihat bersih dan putih, tetapi zat ini bersifat karsinogenik dan sangat berbahaya jika dikonsumsi dalam jangka panjang,” jelas Prof. Sri Raharjo, Kamis 31 Juli 2025.
Risiko Kesehatan Akibat Beras Oplosan
Beberapa zat kimia yang ditemukan dalam beras oplosan, seperti klorin, parafin, pewarna sintetis, atau bahkan plastik, memiliki potensi toksik yang tinggi. Konsumsi berulang dalam jangka panjang dapat menyebabkan:
– Kanker akibat akumulasi zat karsinogenik seperti trihalometan (hasil reaksi klorin)
– Kerusakan hati dan ginjal akibat beban detoksifikasi yang berat
– Peradangan sistemik dalam tubuh
– Gagal ginjal dan sirosis hati akibat pewarna sintetis seperti Rhodamin B
“Organ seperti hati dan ginjal harus bekerja keras menyaring racun ini, dan pada akhirnya bisa mengalami kerusakan permanen,” tambah Sri Raharjo.
Proses Pemasakan Tidak Hilangkan Zat Berbahaya
Banyak masyarakat yang masih mengira bahwa mencuci atau memasak beras dapat menghilangkan zat-zat beracun. Sayangnya, menurut Prof. Sri Raharjo, proses pencucian hanya dapat mengurangi sebagian kecil zat kimia yang larut air. Beberapa bahan seperti formalin dan plastik sintetis tetap bertahan meskipun dipanaskan hingga suhu tinggi.
“Residunya tetap tertinggal dan akan masuk ke tubuh jika beras itu dimakan,” tegasnya.
Cara Membedakan Beras Alami dan Oplosan
Agar tidak tertipu, masyarakat disarankan untuk melakukan pengujian sederhana terhadap beras di rumah. Berikut beberapa tanda fisik beras oplosan:
– Warna terlalu putih mencolok
– Aroma kimia atau pewangi buatan
– Beras mengambang saat direndam dalam air
– Air berubah warna setelah perendaman
– Bau plastik jika dibakar
– Jika gejala-gejala tersebut muncul, sebaiknya segera hentikan konsumsi dan laporkan ke otoritas terkait.
Langkah Preventif dan Edukasi Konsumen
Lebih lanjut, Sri Raharjo menekankan pentingnya pengawasan distribusi pangan dari tingkat produsen hingga pasar tradisional. Ia mendorong adanya:
– Sertifikasi ketat untuk distributor beras
– Edukasi bagi pedagang dan konsumen
– Pemanfaatan alat deteksi cepat di pasar
– Penegakan hukum bagi pelaku kecurangan
“Sanksi hukum saja tidak cukup. Dibutuhkan pendekatan edukatif dan teknologi pengawasan yang memadai,” ujarnya.
Bijak Memilih Beras untuk Kesehatan Keluarga
Sebagai bentuk pencegahan, masyarakat diminta lebih kritis dalam memilih beras. Pastikan beras yang dibeli memiliki label Standar Nasional Indonesia (SNI), berasal dari distributor tepercaya, dan tidak menunjukkan ciri mencurigakan.
“Keamanan pangan dimulai dari rumah tangga, dari apa yang kita putuskan untuk kita konsumsi. Konsumen bisa mulai dengan diversifikasi pangan, seperti mengganti beras dengan sumber karbohidrat lain seperti jagung atau umbi-umbian,” tutupnya.