CakapCakap – Cakap People! Nepal akan mengesahkan undang-undang untuk memberikan izin mendaki Gunung Everest hanya kepada mereka yang sebelumnya telah mendaki setidaknya satu puncak setinggi 7.000 meter di negara tersebut.
Undang-Undang itu menandai perubahan besar bagi Nepal, negara yang bergantung pada pariwisata di tengah kekhawatiran atas kepadatan pendaki dan ketidakseimbangan ekologi di gunung tertinggi di dunia itu.

Nepal, yang sangat bergantung pada pendakian, penjelajahan, dan pariwisata untuk mendapatkan devisa, telah menghadapi kritik karena mengizinkan terlalu banyak pendaki, termasuk yang tidak berpengalaman, untuk mencoba mendaki puncak gunung setinggi 8.849 meter (29.032 kaki).
Hal ini sering kali mengakibatkan antrean panjang pendaki di ‘Zona Kematian’, area di bawah puncak dengan oksigen alami yang tidak mencukupi untuk bertahan hidup.
Seperti dilansir Independent, RUU Pariwisata Terpadu yang diusulkan di majelis tinggi Parlemen Nepal pada tanggal 18 April lalu bertujuan untuk mengatasi masalah kepadatan pendaki, meningkatkan keselamatan pendaki, dan mengurangi masalah ekologi di Everest, yang telah menghadapi peningkatan masalah seperti polusi dan kemacetan yang berbahaya.
Nepal, negara Himalaya yang menjadi rumah bagi puncak tertinggi di dunia, telah dikritik karena terlalu mengomersialkan Gunung Everest dengan mengeluarkan izin kepada terlalu banyak pendaki yang terkadang tidak berpengalaman.
Pendapatan dari izin yang berharga 12.000 pound sterling dan pengeluaran lain oleh pendaki asing setiap tahun merupakan sumber pendapatan utama bagi negara yang menikmati keunikannya memiliki delapan dari 14 gunung tertinggi di dunia itu.
Lebih banyak wisatawan ke lereng yang berbahaya berarti lebih banyak sampah, limbah manusia, dan kerusakan lingkungan di Everest. Misi penyelamatan di ketinggian ekstrem sangat berisiko dan mahal.

UU yang diusulkan akan diperdebatkan dan diharapkan akan disahkan di Majelis Nasional Nepal, di mana aliansi yang berkuasa memegang mayoritas yang diperlukan untuk meloloskan RUU tersebut.
RUU tersebut mengharuskan pendaki untuk menyerahkan sertifikat pendakian setidaknya satu puncak di atas 7.000 m di Nepal sebelum mengajukan izin Everest.
Hal ini bertujuan untuk memastikan pendaki memiliki pengalaman yang memadai di wilayah ketinggian untuk menghadapi tantangan Everest, mengurangi risiko yang terkait dengan kurangnya pengalaman.
Gunung Everest berada pada ketinggian 8.848,86 m (29.031,7 kaki) di atas permukaan laut, sebagaimana dikonfirmasi oleh survei bersama tahun 2020 oleh Nepal dan China, dan rutenya mencakup perjalanan gletser yang mematikan, panjat es, dan bagian tali tetap. Zona Khumbu Icefall dan Hillary Step dianggap sangat berbahaya dan disebut sebagai zona kematian.
Kepala staf lokal, yang disebut sardar, dan pemandu gunung yang mendampingi pendaki juga harus menjadi warga negara Nepal, berdasarkan undang-undang baru yang diusulkan.
Namun, operator ekspedisi internasional telah mengajukan keberatan terhadap pemerintah Nepal yang hanya mengizinkan pendaki dengan sertifikat dari puncak 7.000 m dari dalam negeri dan bukan dari tempat lain di dunia.
“Itu tidak masuk akal. Dan saya juga akan menambahkan gunung-gunung yang tingginya mendekati 7.000 meter ke dalam daftar itu dan yang banyak digunakan sebagai persiapan, seperti Ama Dablam, Aconcagua, Denali, dan lainnya,” kata Lukas Furtenbach dari penyelenggara ekspedisi yang berbasis di Austria, Furtenbach Adventures, kepada Reuters.