in

Seberapa Dingin Suhu Saat Zaman Es Terakhir 20.000 Tahun Lalu? Peneliti Berhasil Mengungkapnya!

Mengetahui suhu zaman es penting karena digunakan untuk menghitung sensitivitas iklim.

CakapCakapCakap People! Sebuah tim penelitian yang dipimpin oleh Universitas Arizona, Amerika Serikat (AS) telah menemukan suhu di zaman es terakhir — Glasial Maksimum Terakhir yang terjadi 20.000 tahun lalu — yaitu sekitar 46 derajat Fahrenheit atau sama dengan sekitar 7 derajat celcius.

Temuan mereka memungkinkan para ilmuwan iklim untuk lebih memahami hubungan antara peningkatan level karbon dioksida atmosfer yang terjadi saat ini — gas rumah kaca utama — dan suhu global rata-rata.

Zaman yang dikenal sebagai Glasial Maksimum Terakhir (Last Glacial Maximum / LGM), adalah periode dingin ketika gletser besar menutupi sekitar setengah dari wilayah Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa, dan banyak bagian Asia. Sementara flora dan fauna yang beradaptasi dengan dingin diketahui tumbuh subur.

Ilustrasi. [Foto: Pixabay]

“Kami memiliki banyak data tentang periode waktu ini karena sudah dipelajari begitu lama,” kata Jessica Tierney, profesor di Univesitas Arizona Department of Geosciences, melansir Heritage Daily, Sabtu, 29 Agustus 2020.

“Tapi satu pertanyaan yang telah lama diinginkan sains untuk dijawab sederhana, yaitu seberapa dingin zaman es?”.

Pelacakan Suhu

Tierney adalah penulis utama studi makalah yang telah diterbitkan di Nature, yang menemukan bahwa suhu global rata-rata zaman es adalah 6 derajat celcius atau 11 fahrenheit lebih dingin dibanding saat ini. Secara konteks, suhu global rata-rata abad ke-20 adalah 14 celcius 57 fahrenheit.

“Dalam pengalaman pribadi Anda, hal itu mungkin tidak terdengar seperti perbedaan besar, tetapi, pada kenyataannya, ini adalah perubahan besar,” jelas Tierney.

Tierney dan tim juga membuat peta untuk menggambarkan bagaimana perbedaan suhu bervariasi di kawasan tertentu di seluruh dunia. Di Amerika Utara dan Eropa, bagian paling utara tertutup es dan sangat dingin.

“Bahkan di sini di Arizona, ada pendinginan besar, ”kata Tierney.

Pendinginan paling ekstrem terjadi di kutub

Pendinginan terbesar terjadi di lintang tinggi, seperti Kutub Utara, yang suhunya sekitar 14 celcius atau 25 fahrenheit lebih dingin dari hari ini. Temuan mereka sesuai dengan pemahaman ilmiah tentang bagaimana kutub Bumi bereaksi terhadap perubahan suhu. Model iklim memperkirakan bahwa garis lintang tinggi akan menjadi lebih hangat lebih cepat daripada garis lintang rendah.

Ketika melihat proyeksi masa depan, itu menjadi sangat hangat di Arktik. Ini disebut amplifikasi kutub. Demikian pula, selama LGM, tim peneliti menemukan pola sebaliknya, yaitu garis lintang yang lebih tinggi hanya lebih sensitif terhadap perubahan iklim dan akan terus berlanjut.

Menghitung Karbon

Mengetahui suhu zaman es penting karena digunakan untuk menghitung sensitivitas iklim. Ini menunjukkan seberapa besar suhu global bergeser sebagai respons terhadap karbon atmosfer.

Tierney dan timnya menentukan bahwa untuk setiap penggandaan karbon atmosfer, suhu global harus meningkat sebesar 3,4 celcius yang berada di tengah kisaran dengan diprediksi oleh model iklim generasi terbaru 1,8 hingga 5,6 celcius.

Tingkat karbon dioksida di atmosfer selama zaman es adalah sekitar 180 bagian per juta, yang sangat rendah. Sebelum terjadi revolusi industri, level naik menjadi sekitar 280 bagian per juta dan saat ini telah mencapai 415 bagian per juta.

“Perjanjian Paris tentang lingkungan berusaha menjaga pemanasan global tidak lebih dari 2,7 fahrenheit (1,5 celcius) di atas tingkat pra-industri. Tetapi, Tierney mengatakan dengan tingkat karbon dioksida yang meningkat seperti itu, akan sangat sulit untuk menghindari lebih dari 3,6 fahrenheit atau 2 celcius pemanasan,” jelas Tierney.

“Kami sudah memiliki sekitar 2 fahrenheit (1,1 celcius) di bawah ikat pinggang kami, tetapi semakin sedikit panas yang kami dapatkan semakin baik, karena sistem Bumi benar-benar merespons perubahan karbon dioksida,” jelas Tierney.

Membuat Model

Ilustrasi. [Foto: Pixabay]

Karena tidak ada termometer di zaman es, Tierney dan timnya mengembangkan model untuk menerjemahkan data yang dikumpulkan dari fosil plankton laut menjadi suhu permukaan laut. Mereka kemudian menggabungkan data fosil dengan simulasi model iklim LGM menggunakan teknik yang disebut asimilasi data, yang digunakan dalam prakiraan cuaca.

Apa yang terjadi kemudian di tempat prakiraan cuaca adalah tim peneliti mengukur suhu, tekanan, kelembaban dan menggunakan pengukuran ini untuk memperbarui model prakiraan dan memprediksi cuaca. Di sini, mereka menggunakan model iklim National Center for Atmospheric Research yang berbasis di Boulder, Colorado untuk menghasilkan hindcast LGM, lalu memperbarui hindcast dengan data aktual untuk memprediksi seperti apa iklimnya.

Selanjutnya, Tierney dan timnya berencana menggunakan teknik yang sama untuk menciptakan kembali periode hangat di masa lalu Bumi. Jika dapat merekonstruksi iklim hangat masa lalu, maka jawaban atas pertanyaan penting tentang bagaimana Bumi bereaksi terhadap tingkat karbon dioksida yang sangat tinggi dapat dan meningkatkan pemahaman tentang apa yang mungkin terjadi pada perubahan iklim di masa depan.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Loading…

0

Comments

0 comments

Kecanduan Nonton Drama Korea Meningkat Selama Pandemi COVID-19 di Indonesia, Menurut Survei!

Terjadi Kasus Infeksi Ulang Setelah Pulih dari COVID-19, Ini Kata Para Ahli!