in ,

Studi Epidemiologi: Virus Corona Menginfeksi 53.000 Orang di Kota Tangerang, 50 Kali Lebih Tinggi dari Data Resmi

Tangerang hanya mengonfirmasi 1.071 kasus hingga Selasa, 15 September 2020, dengan 57 kematian berdasarkan data resmi.

CakapCakapCakap People! Tangerang, sebuah kota di provinsi Banten dengan dua juta penduduk di pinggiran Jakarta, menemukan bahwa jumlah kasus COVID-19 yang sebenarnya di antara penduduknya kemungkinan adalah sekitar 50 kali lebih tinggi dari angka resmi yang mereka laporkan. Hal itu diketahui setelah menyelesaikan studi epidemiologi bulan Agustus lalu.

Melansir laporan Jakarta Globe, Rabu, 16 September 2020, studi tersebut menyimpulkan, virus corona baru telah menginfeksi sekitar 2,43 persen warga Tangerang. Persentase itu berarti sekitar 53.100 orang, karena kota ini memiliki populasi 2,19 juta orang, menurut data Badan Pusat Statistik terbaru.

Walikota Tangerang Arief Wismansyah mengatakan dalam sebuah pernyataan pada hari Senin, 14 September 2020, Dinas Kesehatan Kota Tangerang dan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) melakukan penelitian pada sampel acak sebanyak 3.000 orang.

FOTO FILE: Gambar komputer yang dibuat oleh Nexu Science Communication bersama dengan Trinity College di Dublin, menunjukkan model yang secara struktural mewakili betacoronavirus yang merupakan jenis virus yang dikaitkan dengan COVID-19, yang lebih dikenal sebagai coronavirus yang terkait dengan wabah Wuhan, dibagikan dengan Reuters pada 18 Februari 2020. [NEXU Science Communication / via REUTERS]

Dalam studi itu, para partisipan penelitian melakukan tes serologi untuk mendeteksi antibodi tertentu dalam darah seseorang. Kehadiran antibodi menunjukkan bahwa mereka mungkin pernah terpapar virus corona di masa lalu.

Studi tersebut menggunakan metode pengambilan sampel bertingkat dua dan melaporkan interval kepercayaan 95 persen antara 1,9 persen hingga 3 persen. Itu berarti jumlah sebenarnya orang yang terpapar COVID-19 kemungkinan berada di antara 41.500 hingga 65.500.

Sebagai perbandingan, Tangerang hanya mengonfirmasi 1.071 kasus hingga Selasa, 15 September 2020, dengan 57 kematian. Sedangkan Jakarta, episentrum pandemi di Indonesia saat ini, melaporkan pada hari Selasa, 15 Spetember 2020, dengan total 56.175 orang di ibu kota negara itu telah menderita COVID-19, dan 1.450 di antaranya telah meninggal.

Arief mengatakan, hasil studi ini menunjukkan bahwa sebagian besar kasus COVID-19 di kota itu tidak terdeteksi dengan mayoritas orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apa pun. Seringkali, anggota keluarga tanpa gejala membawa virus corona ke rumah mereka dan menginfeksi anggota keluarga lainnya, kata Arief.

“Makanya kami perketat lagi pembatasannya agar jumlah [kasus baru] berkurang,” kata Arief dalam keterangannya.

Di bawah aturan Pembatasan Sosial Berskala Lokal rukun warga (PSBL), Kota Tangerang memberlakukan ‘lockdown‘ di tingkat RW. Di fase ini pergerakan setiap warga yang keluar-masuk di RW yang ditentukan sebagai zona merah sangat dibatasi atau harus melapor ke gugus tugas tingkat RW.

Arief mengatakan PSBL pertama Kota Tangerang yang diterapkan pada Juni lalu berhasil mengurangi jumlah infeksi di tingkat RW yang ditentukan sebagai zona merah hingga 50 persen dalam dua pekan.

Tangerang memilih menerapkan PSBL karena menemukan sebagian besar kasus COVID-19 di kota itu berasal dari kelompok keluarga, kata Arief.

Arief mengatakan, Pemprov DKI Jakarta telah meminta bantuan dari Polri dan TNI untuk mengerahkan personelnya guna menegakkan pembatasan di kelurahan.

Ilustrasi. [Foto: Pixabay]

Perlu Lebih Banyak Pengujian Virus Corona

Data di Tangerang adalah bukti terbaru bahwa sistem pelacakan dan pengujian COVID-19 yang lemah di negara ini telah memungkinkan sebagian besar kasus asimtomatik bebas berkeliaran tanpa terdeteksi dan telah menyebarkan virus corona ke lebih banyak orang yang tidak curiga.

“Hasil studi di Tangerang tidak terlalu mengherankan. Artinya, kami harus segera meningkatkan kapasitas penelusuran dan pengujian kami,” kata Tri Yunis Miko Wahyono, Kepala Divisi Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, kepada Jakarta Globe pada hari Selasa. Miko tidak terlibat langsung dalam studi di Tangerang yang dilakukan pada 11 hingga 19 Agustus lalu.

Indonesia menguji lebih dari 42.000 sampel menggunakan uji polymerase chain reaction (PCR) pada hari Selasa, 15 September 2020. Ini merupakan rekor pengujian tertinggi di negara ini sejak pandemi dimulai, namun tes hanya menggunakan setengah dari orang yang suspek.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendesak selama beberapa bulan lalu hingga sekarang bahwa Indonesia harus menguji setidaknya satu suspek untuk setiap 1.000 penduduk per minggu — atau sekitar 38.700 tes per hari — untuk dapat mengukur penyebaran pandemi di wilayahnya dengan tepat. WHO mengatakan dalam laporan situasi terbarunya minggu lalu bahwa hanya Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Barat yang sudah memenuhi kriteria pengujian tersebut.

Miko mengatakan pihak fakultas sedang mempersiapkan beberapa studi untuk melengkapi data pandemi di Indonesia. “Studi serupa pernah dilakukan di Bali, bahkan sebelum di Tangerang. Tapi kami belum mempublikasikannya,” kata Miko.

“Sebentar lagi kami akan melakukan survei untuk Jakarta dan Indonesia,” ujarnya.

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Loading…

0

Comments

0 comments

Ketiga Kalinya Pada September, Indonesia Kembali Cetak Rekor Kasus Harian Virus Corona Tertinggi

Ternyata Ini Sederet Alasan Mengapa Seragam Satpam Diubah Berwarna Cokelat Bak Polisi!