in ,

Inilah Makna Huruf Lontara, yang Penggunaannya di Sekolah Segera Diatur dalam Perda Kabupaten Gowa

Kesepakatan terkait dengan pentingnya perda penggunaan huruf lontara itu, disampaikan melalui dialog budaya

CakapCakapCakap People! Huruf lontara menjadi bagian yang tak terpisahkan dari warisan budaya di Sulawesi Selatan yang akan terus dipertahankan dan dilestarikan.

Pemerintah Kabupaten Gowa segera membuat peraturan daerah terkait dengan penggunaan huruf lontara di sekolah.

“Kami mengajak seluruh elemen masyarakat agar terus menjaga warisan budaya yang dimilikinya. Salah satunya huruf lontara yang menjadi kebanggaan masyarakat Gowa dan Bugis-Makassar,” ungkap Sekretaris Daerah Pemkab Gowa Muchlis di Gowa, Sabtu, 28 September 2019.

Kesepakatan terkait dengan pentingnya perda penggunaan huruf lontara itu, disampaikan melalui dialog budaya yang menghadirkan sejumlah budayawan, seniman, tokoh agama, tokoh kesenian, praktis kebudayaan, akademisi, pemerhati budaya, hingga kalangan pemerintahan di Gedung D’Bollo Jalan Tumanurung Kabupaten Gowa.

Peraturan itu, nantinya bersifat wajib bagi instansi pendidikan mulai dari pendidikan usia dini dan sekaligus menyangkut penggunaan batik lontara sebagai seragam wajib siswa dan siswi di daerah itu.

Seluruh pihak juga menyepakati beberapa poin penting dalam rangka mempertahankan warisan budaya Kabupaten Gowa, di antaranya penggunaan nama “Daeng Pamatte” untuk salah satu ruas jalan di wilayah itu.

Muchlis menjelaskan huruf lontara mengandung makna mendalam. Secara filosofi, huruf lontara memiliki keunikan bentuk, sedangkan untuk teknis penulisan aksara lontara mengandung makna mendalam.

Ia menjelaskan huruf lontara tidak mengenal garis melengkung atau garis bengkok. Hanya ada garis lurus ke atas dan garis lurus ke bawah, kemudian pada pertemuan kedua garis lurus tersebut terdapat patahan.

“Makna yang tergambar pada huruf lontara ini merupakan perwujudan dari karakter orang Gowa ataupun Bugis-Makassar, yakni mencintai kejujuran serta menjunjung tinggi kebenaran sesuai semboyan garis lurus tersebut yang berarti lebih baik patah dari pada bengkok,” katanya.

Dialog budaya bertema “Menangkap Pesan Leluhur Gowa” digelar Yayasan Budaya Bugis Makassar (YBBM) di Kabupaten Gowa, Sabtu, 28 September 2019. (ANTARA/HO/Humas Gowa).

Dia juga menyatakan bangga kegiatan dialog seperti itu karena melahirkan pemikiran-pemikiran strategis untuk acuan penyusunan kebijakan dan program-program strategis pembangunan kebudayaan pada masa yang akan datang.

Kegiatan yang diselenggarakan Yayasan Budaya Bugis Makassar (YBBM) sebagai lembaga pengkajian di bidang sosial budaya itu juga menghadirkan beberapa narasumber di bidangnya, seperti budayawan Mallingkai Maknun, Direktur Pengkajian Materi BPIP Moch Sabri AR, dan pemerhati budaya Ahmad Pidriz Zain.

KANTOR BERITA ANTARA

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Loading…

0

Comments

0 comments

Festival “Salo Karajae” di Kota Parepare, Sulawesi Selatan Diharapkan Masuk Agenda Nasional

bebas lilitan hutang

Ingin Terbebas Dari Lilitan Hutang? Yuk Simak 3 Tips Berikut!