in ,

Hasil Autopsi: George Floyd Positif Terjangkit COVID-19 Beberapa Pekan Sebelum Kematiannya

Floyd telah dites positif COVID-19 pada 3 April tetapi tampak tanpa gejala, berdasarkan analisis kode genetik virus atau RNA.

CakapCakapCakap People! Hasil autopsi penuh George Floyd — pria kulit hitam yang diborgol dan meninggal setelah ditahan oleh polisi Minneapolis — sudah dirilis pada hari Rabu, 3 Juni 2020, dan memberikan beberapa rincian klinis, di antaranya adalah termasuk bahwa Floyd sebelumnya telah dinyatakan positif terjangkit COVID-19 beberapa pekan sebelum ia meninggal.

Associated Press (AP) News melaporkan, Kamis, 4 Juni 2020, laporan autopsi setebal 20 halaman yang dirilis oleh pejabat Kantor Pemeriksa Pelayanan Medis Hennepin County Minnesote itu telah mendapat izin dari keluarga dan setelah kantor koroner merilis ringkasan temuan pada hari Senin bahwa George Floyd mengalami serangan jantung ketika ditahan oleh petugas, dan menggolongkan kematiannya pada 25 Mei tersebut sebagai pembunuhan.

errance Floyd, adik George Floyd, saat menyerukan massa untuk akhiri aksi demo, Senin, 1 Juni 2020, di persimpangan Minneapolis. [Foto: The Daily Mail]

Laporan oleh Kepala Pemeriksa Medis Andrew Baker menjabarkan rincian klinis, termasuk bahwa Floyd telah dites positif COVID-19 pada 3 April tetapi tampak tanpa gejala, berdasarkan analisis kode genetik virus atau RNA.

Autopsi menyebutkan RNA masih akan tinggal di tubuh seseorang beberapa pekan setelah penyakit itu hilang. 

Karena itu, tes kedua yang menyatakan Floyd positif menyiratkan bahwa dia tak punya gejala dari infeksi terdahulu ketika meninggal pada 25 Mei.

Dokter Andrew Baker seperti dilansir CNN mengatakan, tes yang dipakai dalam autopsi disebut PCR. Tes dapat menunjukkan hasil positif selama beberapa pekan setelah paparan virus. 

Hasilnya menunjukkan gejala asimtomatik. Artinya, virus itu tidak berperan dalam kematian Floyd.

Selain COVID-19, laporan itu juga mencatat paru-paru Floyd tampak sehat tetapi ada penyempitan pembuluh darah di jantung.

Laporan ringkasan awal Kantor Pemeriksa Pelayanan Medis Hennepin County Minnesote itu telah mencantumkan keracunan fentanil dan penggunaan metamfetamin baru-baru ini di bawah “kondisi penting lainnya” tetapi tidak di bawah “penyebab kematian.” 

Catatan kaki laporan lengkap itu mencatat bahwa tanda-tanda toksisitas fentanyl dapat termasuk “depresi pernapasan parah” dan kejang.

Pengacara keluarga Floyd, Ben Crump, sebelumnya mengutuk otopsi resmi — seperti yang dijelaskan dalam keluhan asli terhadap Chauvin — karena mengesampingkan asfiksia. 

Otopsi yang dilakukan oleh keluarga Floyd menyimpulkan bahwa ia meninggal karena sesak napas akibat kompresi leher dan punggung.

Gelombang aksi protes atas kematian Floyd meluas di berbagai kota AS dan dunia. 

Video Bystander menunjukkan perwira polisi Minneapolis Derek Chauvin menekan leher Floyd menggunakan lututnya. Petugas polisi itu bahkan mengabaikan tangisan “Saya tidak bisa bernapas” dari Floyd sampai dia akhirnya berhenti bergerak, dan telah memicu protes nasional di AS.

Floyd sempat di bawa ke rumah sakit namun nyawanya tak tertolong.

George Floyd saat lehernya diinjak dengan lutut oleh polisi Minneapolis, AS. [Foto via World of Buzz]

Floyd  ditangkap karena menggunakan uang 20 dolar AS palsu di sebuah toko. Dalam sebuah rekaman video, Floyd diborgol dan tidak memberontak dalam penangkapan tersebut. Namun, polisi mengeklaim bahwa dia sempat melawan ketika ditangkap.

Kematian Floyd ini merupakan kasus terbaru dari kebrutalan polisi terhadap pria kulit hitam yang tertangkap dalam rekaman video. Hal ini memicu protes atas rasisme dalam penegakan hukum AS.

Kematian Floyd memiliki kemiripan dengan kematian Eric Garner, yang meninggal dalam sebuah penangkapan pada 2014 di New York. Ketika itu, Garner berulang kali mengatakan kepada polisi, “Saya tidak bisa bernapas.”

Comments

One Ping

  1. Pingback:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Loading…

0

Comments

0 comments

Apple Peringatkan Para Penjarah di AS yang Curi iPhone Sedang Dilacak

Hasil Investigasi The Guardian: WHO dan Banyak Negara Pakai Data Cacat Tangani COVID-19