in

Keren, Kaleng Soda Bisa Jadi Bahan Bakar, Bro

Kondisi kepepet memang membuat kreatifitas dan intelejensi manusia bekerja dengan cepat. Didorong oleh keprihatinan akan sumber bahan bakar yang ramah lingkungan berupa hidrogen, sekelompok peneliti dari Department of Non-Ferrous Metals and Gold di National University of Science and Technology MISIS berhasil mengembangkan bahan bakar alternatif berupa hidrogen yang dihasilkan dari alumunium dan limbah logam non-besi. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi?

Sebelumnya, para peneliti ini melakukan kajian dan mendapati kalau sebuah kaleng soda bervolum 0,33 liter bisa menggerakkan sebuah mobil sejauh 20 meter.

Mungkin luput dari perhatian kamu, gaes, tapi alumunium dan logam non-besi merupakan limbah yang sangat mahal. Meski begitu, inisiatif untuk memisahkannya dan mendaur ulang limbah jenis ini masih belum marak karena dihalangi sejumlah faktor seperti: ongkos pengolahan logam itu sendiri, keberadaan energi yang terbuang yang terkandung di dalam logam alumunium yang aktif secara kimiawi, serta keamanan. FYI, gaes, alumunium dapat dengan mudah teroksidasi dan menghasilkan hidrogen yang notabene berdaya ledak tinggi.

Di Rusia sendiri pasar kaleng alumunium diperkirakan mencapai 2 hingga 3 miliar kaleng per tahunnya. Satu kaleng alumunium bervolum 0,33 liter memiliki berat 15 gram sehingga setiap tahunnya orang Rusia membutuhkan 30 ribu hingga 40 ribu ton alumunium murni. Wow. Nah, kaleng-kaleng tersebut hanya digunakan dalam hitungan hari atau beberapa bulan saja. Selebihnya mereka bakalan berakhir di tempat sampah bersama dengan limbah logam dari alumunium lainnya.

wisegeek.com

Sementara itu, pasar alumunium sekunder Eropa berkisar 9 ton per tahunnya. Semua limbah dari alumunium ini berada di tempat sampah tanpa ada pengawasan berarti sementara logam tersebut membebaskan hidrogen begitu saja ke udara. Lebih dari setengah alumunium ini tidak digunakan lagi. Artinya, ada energi yang dibuang begitu saja sebesar 130 TJ (terajoule) setiap tahunnya. Wow…

Kalaupun ada negara yang mengolah limbah alumunium dan limbah logam non-besi lainnya, kebanyakan hanya mencairkan limbah logam ini untuk dijadikan logam sekunder. Salah satu negara yang melakukan ini adalah Swiss, yang mendaur ulang 90 persen limbah alumunium dari rumah tangga. Satu-satunya kekurangan metode ini hanyalah ongkos transportasi yang tinggi. Belum lagi biaya pembersihan dan peleburan logam serta keberadaan limbah dalam bentuk sludge yang kaya racun.

Inilah yang menjadi sumber keprihatinan para peneliti dari MISIS di Moskow, Rusia. Institusi ini bekerja sama dengan Joint Institute for High Temperatures dari Russian Academy of Sciences, dan berusaha menjadikan limbah alumunium ini sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan dan melibatkannya dalam sistem yang memproduksi hidrogen dari logam berbasis alumunium.

Reaksi ini melibatkan alumunium dan air yang mana keduanya menghasilkan hidrogen yang bisa dijadikan bahan bakar atau dioksidasi dalam sebuah fuel cell. Kamu mungkin tidak tahu kalau satu kaleng alumunium dengan bobot 15 gram punya 255 kJ. Efisiensi hidrogen yang dihasilkan kaleng ini sama persis dengan efisiensi 5 liter gas per 100 km, lho. Reaksi berlangsung cukup lambat mengingat pada permukaan alumunium terbentuk lapisan film oksida-hidroksida yang melindungi logam ini dari kontak langsung dengan oksidator sehingga menghambat laju proses kimia. Guna mengatasi hal ini para peneliti menggunakan sebuah metode sehingga proses oksidasi berlangsung secara mekanis, yang melibatkan penghancuran dan penggunaan reagent untuk menghancurkan lapisan film tersebut. Dan, hidrogen yang dinanti-nanti pun berhasil mereka dapatkan untuk kemudian disalurkan sebagai sumber energi listrik portabel seperti fuel cell, kereta api, dan lain-lain.

This post was created with our nice and easy submission form. Create your post!

Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Loading…

0

Comments

0 comments

Stop Buang Kulit Jeruk, Beragam Manfaat Ini Bisa Terlewatkan!

Wow, Inhaler Asma Ternyata Bikin Pemanasan Global Makin Parah